Ragam Jenis Wartawan/Jurnalis "Katanya"
- IJTI MADURA
Dalam konferensi pers, Kapolres menyebut, "Tersangka mengaku sebagai wartawan investigasi, tapi saat ditanya medianya apa, tidak bisa menunjukkan alamat redaksi dan penanggung jawab."
Pengetahuan Pendek, Ketikan Panjang
Wartawan Katanya tidak dibekali pelatihan jurnalistik. Mereka hanya bermodal lisensi abal-abal dari lembaga pelatihan fiktif. Tidak heran jika tulisannya banyak kesalahan. Misalnya:
"Masyarakt mengeluhkan prabrik rokok ilegal yang mengeluarkan bau tengik dan mencemari linkungan."
Dalam jurnalistik yang benar, satu kesalahan bisa membuat kredibilitas jatuh. Tapi dalam jurnalisme Katanya, kesalahan justru jadi gaya bahasa. Kesalahan jadi bukti bahwa berita itu spontan dan orisinal tidak disunting dengan AI dan ChatGPT.
Bertanya , Atau Menodong
Ketika ditanya data, mereka berang. “Kamu bela pengusaha ya? Kamu dibayar berapa?” Mereka tidak suka pertanyaan balasan. Bagi mereka, satu pertanyaan terasa ancaman. Dua pertanyaan sama dengan kriminalisasi.
Etika jurnalistik? Itu dianggap konspirasi wartawan mapan untuk menekan wartawan akar rumput. Padahal, wartawan beneran justru lebih suka riset ketimbang teriak-teriak.
Satir Sebagai Penangkal Kegoblokan
Wartawan Katanya sebenarnya bisa diselamatkan. Caranya? Satir. Liputan-liputan absurd mereka bisa dikembalikan dengan liputan tandingan yang lebih satir.
Misalnya, jika mereka menulis: “Katanya ada pabrik rokok ilegal di balik rumah Pak RT.”
Maka balasan dari media waras bisa berupa: “Katanya wartawan itu melihat pabrik dari mimpi semalam.”
Atau: “Menurut sumber yang tak mau disebut namanya karena tidak ada, pabrik rokok tersebut sebenarnya hanyalah kandang ayam.”
Jurnalis Sejati Tak Pernah Berkata ‘Katanya’ Jurnalisme bukan soal menjadi cepat, tapi soal menjadi benar. Wartawan sejati adalah mereka yang menyalakan cahaya di ruangan gelap, bukan menyalakan api di ladang kering.
Wartawan Katanya bukan musuh, tapi gejala. Gejala dari sistem informasi yang lemah, minim verifikasi, dan terlalu mudah percaya. Saat masyarakat membaca berita tanpa bertanya, saat itulah ‘katanya’ jadi kenyataan.
Dan selama itu terjadi, jangan heran jika liputan investigasi lokal kita kalah jauh dari laporan riset mahasiswa semester tiga.
Pada akhirnya pers dihadapkan pada dua pilhan: Pers hadir sebagai sebagai profesi yang dibutuhkan masyarakat, atau sebagian lagi menakut-nakuti rakyat, yang terintimidasi dengan berita "KATANYA"