Ayam Jantan dan Safari Rakyat di Ujung Negeri

Pangdam V/Brawijaya, Mayjen TNI Rudi Saladin ketika di Sumenep
Sumber :

Oleh: Fauzi As

Polemik MBG, Ulama Madura: Terbukti SPPG NAKAL, Langsung Tutup!

 

Tulisan ini tidak lahir dari ruang seminar atau deretan footnote jurnal ilmiah. Ia tumbuh dari perenungan, pelan-pelan, seperti luka yang sembuhnya tak pernah diumumkan.

Laka Maut Suramadu, Korlantas Polda Jatim : Diduga Kuat Sopir Bus Mengantuk

 

Sudah seminggu saya mencerna cerita-cerita yang keluar dari mulut para pemuda. Bukan tentang konser, bukan pula soal caleg yang gagal move on, tapi tentang seorang jenderal. 

Bus Tabrak Truk Gandeng di Jembatan Suramadu, Dua Tewas dan Dua Luka Berat

 

Bukan jenderal biasa, tapi seorang pemegang tongkat yang lebih suka menunjuk jalan daripada menunjuk-nunjuk bawahannya.

 

Ini tentang Mayjen TNI Rudy Saladin, Pangdam V/Brawijaya, sosok yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Bukan karena skandal atau operasi senyap, tapi karena operasi dengar. 

 

Di negeri yang bising oleh pejabat yang senang bicara tapi malas mendengar, ia justru hadir untuk menyimak. Diam-diam, tapi dalam.

 

Pejabat yang Singgah atau Pemimpin yang Singguh?

 

Di republik ini, pejabat sering datang seperti cuaca. Kadang panas, kadang mendung, tapi tak pernah betul-betul menetap. Mereka datang, letakkan batu pertama, lalu hilang bersama siaran pers. 

 

Tidak untuk mendengar, apalagi memahami. Sebab bagi mereka, rakyat itu penonton, bukan lawan bicara.

 

Tapi Rudy Saladin tidak masuk kategori pejabat musiman. Ia bukan datang untuk memoles citra, tapi membawa kopi, waktu, dan bahu. 

 

Di Gili Genting, Gili Iyang, ke ujung pulau Madura bernama Sumenep, ia hadir bukan sebagai Panglima, tapi sebagai manusia yang cukup rendah hati untuk bertanya. 

“Bagaimana kabar kalian sebenarnya?”

 

Ayam Jantan dari Timur Versi Baru, Tanpa Suara Meriam.

Madura, pulau yang dikenal dengan tangisan sunyi. Ayah-ayah yang tak mampu beli susu, ibu-ibu jadi penyapu kota. 

 

Tapi siapa sangka, dari ketimpangan itu, lahir dialog yang penuh kemanusiaan, di warung kopi, di pinggir pantai, di pos terpencil.

 

Ia tidak datang membawa pidato tentang strategi militer. Ia bicara soal narkoba yang menyusup di pulau-pulau. Tentang anak-anak muda yang kehilangan arah, bukan karena malas, tapi karena terlalu sering diabaikan.

 

Dan di situlah letak kejutannya. seorang jenderal yang justru lebih terdengar dari politisi mana pun. Kalimatnya mungkin sederhana, tapi suaranya mengandung keikhlasan.

Halaman Selanjutnya
img_title