Biaya Otopsi Bayi Syifa Dilempar ke Keluarga, Negara ke Mana?
SUMENEP – Ironis sekali. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan, bayi mungil bernama Syifa (1) yang ditemukan tewas di dalam lemari kamar kos di Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, harus terkubur tanpa otopsi. Bukan karena hukum tak menghendaki, tapi karena keluarga miskin tak punya uang.
Padahal, ada dugaan kuat Syifa menjadi korban kejahatan. Polisi sendiri sudah menyebut kasus ini masuk ranah pidana. Namun, ketika proses hukum membutuhkan otopsi, justru keluarga korban yang diminta menanggung biayanya.
“Sebenarnya kami ingin diotopsi, biar jelas penyebabnya. Tapi kami tidak mampu membayar biaya tim yang mau ke Kangean,” ungkap kerabat korban, Moh. Rofiq (54), dengan suara getir.
Pernyataan resmi bersama pun dibuat di Polsek Kangean. Isinya: otopsi batal, bukan karena tidak perlu, melainkan karena keluarga tak sanggup membayar transportasi tim forensik dari Polda. Tragis, hukum ternyata bisa kandas hanya karena ongkos kapal.
Lebih memilukan lagi, keluarga bahkan tak pernah diberi tahu berapa jumlah biaya yang harus disiapkan. Semua serba gelap. Katanya ditentukan oleh tim dari Polda, sementara keluarga hanya bisa menandatangani surat penolakan.
Polisi berdalih hasil visum medis cukup untuk penyelidikan. Namun, publik tentu berhak bertanya: benarkah cukup, atau ini hanya jalan pintas agar perkara tidak terlalu panjang?
Ironinya, aturan negara jelas-jelas menyebut biaya otopsi dalam kasus pidana adalah tanggung jawab negara, bukan keluarga. Pasal 136 dan 229 KUHAP, serta Pasal 125 UU Kesehatan, berdiri tegas. Tapi di lapangan, hukum sering kalah oleh biaya bensin dan tiket kapal.