Madura: Pulau yang Membayar, Negara yang Lalai

ilustrasi
Sumber :

Surabaya-, Oleh: Fauzi As

Polemik MBG, Ulama Madura: Terbukti SPPG NAKAL, Langsung Tutup!

Negara ini seperti orang tua yang hanya ingat anaknya saat panen raya. Anak bernama Madura diberi tugas mulia: menanam tembakau, mengeringkan di bawah terik, menawar harga di gudang, lalu menyerahkan hasilnya pada perut fiskal negara.

 

Laka Maut Suramadu, Korlantas Polda Jatim : Diduga Kuat Sopir Bus Mengantuk

Tapi setelah itu? Madura dipulangkan hanya dengan sisa jerami dan stigma buruk.

 

Bus Tabrak Truk Gandeng di Jembatan Suramadu, Dua Tewas dan Dua Luka Berat

Mari lihat datanya: Jawa Timur menyumbang lebih dari 50% produksi tembakau nasional. Dari jumlah itu, Madura memberi kurang lebih 70%. Artinya hampir separuh tembakau nasional lahir dari tanah karapan sapi.

 

Kontribusi ini mengalir deras ke kas negara lewat Cukai Hasil Tembakau (CHT): Rp226,4 triliun pada 2024, naik jadi Rp230 triliun pada 2025. Sebuah angka fantastis, yang di Jakarta dipakai untuk membangun gedung mewah, membiayai pesta politik, dan menutup defisit.

 

Sementara di Madura, petani masih bingung mencari pupuk, menjual daun dengan harga lebih murah daripada sebatang rokok di kafe ibu kota.

Inilah wajah Negara: pandai menghitung penerimaan, tapi gagap menimbang keadilan.

 

Lebih ironis lagi, Madura justru dicap sebagai “Daerah Rokok Ilegal.” Sebuah label yang seakan-akan dibuat khusus agar Negara punya alasan menurunkan aparat, merazia di jalanan, dan merampas barang dagangan di pintu keluar Suramadu.

 

Rokok lokal yang diracik dengan tangan anak petani dicap haram, sementara rokok impor entah dari mana bisa melenggang masuk. Pertanyaan retorisnya: siapa yang membuka pintu? Siapa yang mendapat bagian dari setiap karton yang lolos di pelabuhan?

 

Namun Madura tetap diam.

Ketika negeri ini gaduh demonstrasi, kantor polisi dibakar, gedung DPR dilempari, jalanan dipenuhi ban terbakar, Madura tidak ikut-ikutan. Tidak ada kantor polisi miring, tidak ada gedung DPR runtuh.

 

Pulau ini memilih sunyi. Sunyi bukan tanda setuju, melainkan etika: protes bisa dilakukan tanpa menghancurkan rumah sendiri. Tapi sayangnya, diam Madura ditafsir sebagai patuh. Padahal diam itu seringkali adalah jeritan yang ditelan oleh kami sendiri.

 

Negara terlalu nyaman dengan diamnya Madura. Seakan-akan pulau ini cukup diberi label miskin dan dibiarkan berjalan sendiri.

Halaman Selanjutnya
img_title