Madura: Pulau yang Membayar, Negara yang Lalai
Padahal sejak republik berdiri, Madura tetap tercatat sebagai wilayah termiskin di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar: kemana larinya triliunan rupiah dari tembakau itu?
Mengapa pulau kami yang memberi napas pada fiskal negara justru tercekat di lehernya sendiri?
Sudah waktunya Madura berhenti diperlakukan sebagai mesin uang, sudah waktunya aparat berhenti membuat Madura sebagai kambing hitam.
Kini mulai terdengar lantunan suara lirih para kiai, para sesepuh, para aktivis, tokoh berdarah Madura. Beliau berkumpul menajamkan do'a menggambar peta jalan baru bernama "Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau Madura."
Dengan KEK, Madura akan punya perlakuan regulasi khusus, insentif fiskal, infrastruktur riset dan hilirisasi.
Madura bisa berubah dari stigma “rokok ilegal” menjadi pusat industri legal, modern, dan berdaya saing global.
Tapi apakah Negara berani? Atau justru takut, sebab bila Madura berdaulat atas tembakaunya sendiri, Aparat bisa kehilangan mainan bernama “penindakan”?
Satir ini sederhana: Negara tak adil, tapi Madura tetap beradab. Negeri ini berutang banyak pada sejumput tanah yang bernama Madura.
Namun bagi Negara, utang itu seakan tak pernah perlu dibayar, mungkin karena yakin Madura tetap diam.
Diam yang terus-menerus ditafsirkan sebagai setia. Padahal bisa saja suatu hari, diam itu berubah jadi senyum yang membakar: “Negara boleh besar, tapi ingatlah siapa yang membesarkan.”
Jangan sampai do'a para kiai dan ibu-ibu kami di ijabah oleh Allah, manjadi batu yang jatuh menghujani langit-langit jakarta.