Belajar Bijak dari Bang Zia: Antara Bola, Takdir, dan Ulang Tahun yang Tidak Pernah Dirayakan
Oleh: Fauzi As
Ada orang yang kalau ulang tahun sibuk menghitung usia, lalu sibuk lagi menyembunyikan uban dan keriput. Ada pula yang malah sibuk menghitung dosa dan menyesali kenakalan masa lalu.
Tapi Bang Zia - orang yang hari ini berulang tahun - tidak termasuk dua-duanya.
Ia tidak pernah repot dengan perayaan, dan tidak pula pura-pura lupa umur. Ia justru menjadikan hidupnya seperti bola: kadang dipantulkan, kadang ditendang, tapi selalu bergerak.
Hidup nakal adalah undur-undur. Hidup biasa adalah perjalanan. Hidup dewasa adalah tangga. Hidup bijaksana adalah menebar manfaat. Di antara empat fase itu, Bang Zia pernah menjadi semuanya.
Pernah nakal, tentu. Tapi kenakalannya bukan karena bandel tanpa arah, melainkan kanakalan yang mengarahkan.
Ia juga tahu, setiap anak muda punya jatah nakal - asal tidak kehilangan arah.
Bang Zia, dalam hidupnya, seperti orang yang berdamai dengan ketidakpastian.
Mungkin karena ia lama bergelut di dunia sepak bola: dunia yang tidak pernah bisa dijelaskan dengan logika sederhana.
Bola itu bundar, katanya, tapi hidup juga tak kalah bundarnya. Kadang menang, kadang kalah. Kadang disanjung, kadang disalahkan.
Tapi apa pun hasilnya, permainan harus tetap berjalan.
Saya sering berpikir, orang seperti Bang Zia tidak pernah benar-benar khawatir tentang masa depannya.
Ia seperti pemain yang percaya bahwa lapangan kehidupan sudah diatur wasit langit.
Mungkin karena itu, ia tampak tenang di tengah hiruk-pikuk ambisi orang lain. Saat banyak orang sibuk mengamankan posisi, ia malah sibuk mengamankan hati.
Saat yang lain menimbun hasil, ia justru membagi kebahagiaan kepada lingkungannya.
Bang Zia punya kebiasaan aneh: apa yang dia miliki, seolah bukan miliknya sendiri.
Rumahnya terbuka, waktunya terbagi, perhatiannya bertebaran. Ia tidak kaya raya, tapi ia punya cara membuat orang di sekitarnya merasa cukup.
Ia tidak sibuk menasihati, tapi tanpa sadar banyak orang meniru caranya bertahan hidup.
Ada satu hal yang membuat saya kagum: tanggung jawabnya. Dalam pekerjaan, dalam keluarga, bahkan dalam hal-hal kecil yang tidak dianggap penting oleh banyak orang.
Kalau ia diberi amanah, ia peluk dengan dua tangan. Kalau gagal, ia tidak lari. Dalam dunia yang penuh alasan dan pembenaran, orang seperti ini semakin langka.
Dan di hari ulang tahunnya, saya ingin menulis bukan untuk memuji, tapi untuk mengingatkan: bahwa menjadi dewasa bukan soal umur, tapi soal kesediaan memikul sesuatu dengan lapang dada.
Bang Zia adalah orang yang menua dengan tanggung jawab, bukan dengan keluhan.
Saya menyebutnya “senior dalam perjuangan”, bukan karena umurnya lebih tua, tapi karena hatinya lebih matang.
Ia tidak banyak bicara tentang hidup, tapi hidupnya sendiri adalah pelajaran. Kadang saya berpikir, kalau hidup ini seperti pertandingan bola, maka Bang Zia bukan penyerang yang haus gol, melainkan kapten yang diam-diam menjaga ritme permainan agar semua tetap solid.
Ulang tahun baginya mungkin cuma angka. Tapi bagi kami yang mengenalnya, setiap tahun yang ia lewati adalah tanda bahwa masih ada orang yang bisa dipercaya di tengah zaman yang penuh tipu-tipu.
Orang yang tidak menjual prinsip demi kenyamanan, tidak menggadaikan teman demi jabatan, dan tidak menukar tanggung jawab dengan alasan.
Jadi, selamat ulang tahun, Bang Zia. Semoga panjang umur bukan sekadar doa, tapi perpanjangan kesempatan untuk terus menebar manfaat.
Dunia ini butuh lebih banyak orang yang hidupnya seperti engkau: sederhana tapi berarti, tenang tapi tajam, bijak tapi tetap punya tawa.
Dan kalau suatu saat nanti engkau benar-benar merayakan ulang tahunmu, semoga bukan dengan lilin dan kue, tapi dengan segelas kopi dan cerita lama- tentang bagaimana kita pernah nakal, lalu belajar jadi biasa, lalu naik tangga jadi dewasa, dan akhirnya, kalau Tuhan berkenan, belajar menjadi bijaksana.